Secara historis, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memegang peranan krusial sebagai pilar utama kendali mutu profesi dokter di Indonesia, yang secara langsung berdampak pada keselamatan pasien. Kendali mutu ini dieksekusi melalui self-regulation, terutama dengan pemberian rekomendasi Surat Izin Praktik (SIP) dan pengawasan kode etik profesi. Dengan sistem ini, IDI memastikan bahwa dokter yang berpraktik memiliki kompetensi dan integritas moral yang sesuai standar. Kontrol oleh profesi sendiri dianggap sebagai mekanisme yang paling efektif karena didasarkan pada ilmu pengetahuan dan pengalaman klinis, bukan pertimbangan birokrasi semata.
Namun, sistem kendali mutu ini menghadapi tantangan besar dengan disahkannya Undang-Undang Kesehatan (UU Kesehatan) baru, yang mengalihkan sebagian besar kewenangan regulasi dari IDI ke Pemerintah. Kehilangan kontrol IDI atas rekomendasi SIP menimbulkan pertanyaan kritis: Siapa yang mengontrol kendali mutu? IDI berargumen bahwa sentralisasi kekuasaan ke Kementerian Kesehatan berpotensi melemahkan standar, karena proses perizinan mungkin menjadi terlalu birokratis dan kurang peka terhadap nuansa etika dan standar klinis yang ketat. Kekhawatiran utama IDI adalah kemungkinan penurunan kualitas dokter baru yang pada akhirnya berisiko terhadap keselamatan pasien.
Pasca-UU Kesehatan, IDI harus secara strategis memperkuat fungsi kendali mutu dari dalam melalui jalur yang tidak dapat dibatalkan oleh regulasi. Kekuatan IDI kini terletak pada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan pelaksanaan Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKS). MKEK harus semakin proaktif dalam menindak pelanggaran etika profesi dan malpractice, menegaskan bahwa sanksi moral dan profesional dari profesi tetap ada. PKS harus menjadi jaminan bahwa kompetensi dokter diperbarui secara kontinu, memastikan mutu layanan kesehatan tetap terjaga melalui edukasi, terlepas dari siapa yang mengeluarkan izin praktik.
Pada akhirnya, IDI berjuang untuk memposisikan diri sebagai penjamin trust publik dan penjaga integritas moral profesi, aset yang jauh lebih berharga daripada kekuatan legal formal. Dalam lingkungan yang berubah, peran IDI adalah memastikan bahwa fokus utama kendali mutu tetap pada kepentingan pasien di atas kepentingan politik atau komersial. Jika IDI berhasil mempertahankan standar etik dan kompetensi yang tinggi secara internal, maka merekalah yang secara de facto akan terus mengontrol mutu, yang merupakan kunci utama dalam menjamin keselamatan pasien Indonesia.